Minggu, 03 April 2016

KESENIAN KERONCONG UNTUK GENERASI MUDA

KESENIAN KERONCONG
Mendengarkan alunan musik keroncong dapat dipastikan akan membuat batin merasa tentram. Irama musik keroncong yang unik dan terkesan minimalis seakan membius siapa saja yang mendengarkannya. Perkembangan musik keroncong dari tahun ke tahun memang sangat menarik untuk diikuti, mulai dari kalangan anak muda hingga dewasa cukup familiar dengan genre musik ini.
Riwayat keroncong sendiri tidak dapat dilepaskan dari Kampung Tugu, Jakarta Utara, yang dihuni oleh komunitas Tugu sejak 1661. Komunitas Tugu ini mewarisi budaya musik Portugis asal bangsa Arab Moor yang disebut Moresco, sebagai cikal bakal dari musik keroncong. Dari berbagai hasil penelitian mengenai musik keroncong ditemukan rujukan bahwa musik ini merupakan proses evolusi yang kreatif dalam menggabungkan elemen budaya Timur dan Barat.
http://www.tjroeng.com/wp-content/uploads/2016/01/2261628.jpg

Menurut tuturan sejarah, tahun 1620an, sebuah kapal karam di lepas pantai Batavia, dan para penumpang kapal, yaitu marinir Portugis asal Goa, India, beserta keluarga mereka asal Banda mencari pertolongan ke pantai. Mereka ditangkap oleh Belanda, namun setelah bersedia berpindah agama dari Katolik menjadi Protestan, mereka dibebaskan dan dibuang ke Kampung Tugu pada tahun 1661.
Komunitas Tugu sebagai marinir asal Goa mewarisi budaya Portugis. Mereka tidak hanya mampu berbahasa Portugis cristão, namun juga menguasai musik Portugis, serta ketrampilan membuat gitar Portugis. Letak Kampung Tugu yang terisolasi membutuhkan hiburan, sehingga mendorong komunitas Tugu untuk menghidupkan kembali musik Portugis. Mereka membuat gitar dari batang kayu meniru gitar Portugis yang mereka namakan keroncong, lalu membentuk ensambel untuk mengiringi tarian dan nyanyian Moresco. Dari permainan ensambel itu kemudian lahir musik keroncong yang mereka namakan Krontjong Toegoe.
Penyebaran awal musik Keroncong terjadi pada abad ke-20 dimulai dari Batavia ke Soerabaja yang digabungkan dengan pementasan teater komedi bangsawan yang bertemakan kisah dari Timur Tengah. Pada pertunjukan tersebut lagu-lagu keroncong tersebut juga menjadi lagu pengiring pemain sandiwara dalam berakting, menari, bernyanyi dan berkomedi. Ketika teater komedi itu tidak lagi digelar, lagu keroncongnya tetap dinyanyikan dengan nama Stambul Keroncong, dalam bentuk lagu maupun instrumental.
Kini memasuki abad ke-21 musik Keroncong dapat dipastikan akan tetap bersinar dan semakin menjangkau pencinta musik dari berbagai macam kalangan. Beberapa faktor yang membuat musik Keroncong tidak akan lekang dimakan jaman adalah ketahanannya yang telah teruji cukup lama dan telah sah bukan menjadi musik musiman. Berikutnya adalah musik Keroncong memiliki keunikan yang cukup fenomenal yaitu perpaduan budaya Timur dan budaya Barat; fleksibilitas dan keterbukannya dalam mengiringi semua lagu dengan pola ritmiknya yang khas juga menjadi faktor penguat berikutnya pada musik ini. Sejarah telah membuktikan bahwa melalui proses yang panjang dari keunggulannya dalam beradaptasi dan berasimilasi, musik keroncong diyakini akan tetap terdengar sepanjang masa.
Modernisasi Keroncong bermula pada 1960-an, Keroncong disulap menjadi tradisi populer kaum muda-mudi di Indonesia. Musik ini dikawinkan dengan alat musik modern seperti gitar elektrik, keyboard dan drum. Modernisasi Keroncong era 1960-an ini di Indonesia dan Belanda sendiri sudah tidak asing lagi dengan nama Wieteke Van Dort yang membawakan Keroncong dengan gaya modern, salah satu lagunya yang terkenal adalah Geef Mij Maar Nasi Goreng. Adaptasi Keroncong dengan Langgam Jawa, berkembang pesat pada tahun 1950an. Penyanyi Keroncong dengan Langgam Jawa yang terkenal di tahun itu seperti Waldjinah. Langgam Jawa ini khas memakai sitar, saron dan kendang. Biasanya bila kendang tidak tersedia peran cello menggantikan peranan suara kendang dalam Langgam Jawa. Di hari ini, keroncong, masih tetap lestari. Baik masih menjadi tontonan yang berkelas di gedung-gedung pertunjukan atau pun di jalanan.

DAFTAR PUSTAKA
http://dkj.or.id/artikel/riwayat-musik-keroncong/ (Diakses Pada Hari Sabtu, 3 April 2016 Pukul 20:11)

http://gigsplay.com/sejarah-singkat-keroncong-di-indonesia/ (Diakses Pada Hari Sabtu, 3 April 2016 Pukul 20:20)

Minggu, 27 Maret 2016

KETERKAITAN PEREMPUAN PADA KESENIAN SINDEN

KESENIAN SINDEN 

Sinden merupakan adat dari Jawa, berupa nyanyian lagu tradisional yang dibawakan oleh seorang wanita muda yang mengenakan kebaya lengkap dengan selendang panjang. Sinden sangat identik dengan music Gamelan, karena Sinden biasanya selalu ada pada pertunjukan Wayang atau setiap pertunjukan yang menggunakan iringan music Gamelan. Bisa berupa acara perkawinan, atau pesta-pesta besar, bahkan sampai memperingati hari raya. Semakin besar acara yang dibentuk, pembawaan sinden semakin baik dengan iringan yang semakin meriah, bila acara kecil, sinden dibawakan bisa tanpa dengan iringan gamelan.  Sinden merupakan hiburan di zaman dahulu yang bisa dikatakan sebagai piano tunggal di zaman sekarang yang biasanya mengiringi pesta-pesta. Selain memiliki keahlian vocal yang baik, Sinden juga harus mempunyai kemampuan komunikasi yang baik agar dapat memeriahkan acara.

Sebutan Sinden berasal dari kata “Pasindhian” yang berarti “kaya akan lagu” atau “yang melantunkan lagu“. Sehingga Pesinden dapat diartikan seseorang yang melantunkan lagu. Selain itu, Sinden juga biasa di sebut dengan “Waranggana” yang diambil dari gabungan kata“wara” dan “anggana”. Kata wara sendiri berarti seseorang yang berjenis kelamin wanita dananggana yang berarti sendiri. Karena pada jaman dahulu, waranggana merupakan satu – satunya wanita dalam pentas pagelaran Wayang atau Klenengan.

Dalam pementasan Wayang jaman dahulu, Sinden biasanya hanya sendiri dan merupakan istri dari dalangnya atau salah satu anggota dari pengiring gamelan. Sinden ini biasanya di tempatkan di belakan dalang dan di barisan depan para pengiring gamelan. Sepanjang pementasan Wayang berlangsung, Sinden menyanyi sesuai dengan gendhing yang disajikan para pengrawit. Namun seiring dengan perkembangan jaman, Sinden dialihkan tempatnya untuk menghadap para penonton, tepatnya di sebelah kanan dalang membelakangi simpingan Wayang. Selain tempatnya, jumlah Sinden pun tidak hanya satu orang, namun lebih dari dua orang.


Pada masa emasnya, sinden merupakan profesi yang banyak digemari para wanita. Sinden dianggap bintang panggung karena memiliki pesona dan daya tarik sendiri. Dahulu, sinden dapat menjadi penentu sukses atau tidaknya sebuah pagelaran. Sebuah pagelaran yang diiringi sinden cantik dan bersuara merdu akan menarik banyaknya penonton yang hadir.

Di era modern saat ini, keberadaan sinden memang semakin bergeser seiring dengan meredupnya pagelaran wayang kulit. Meski demikian sinden masih menempati posisi tersendiri terutama bagi mereka pecinta seni pagelaran wayang. Sinden pun tidak hanya sebagai ‘penghias’ karena posisinya pun kerap disamakan dengan penyanyi. Tidak sedikit juga sinden yang ‘go internasional’ dengan mengadakan pagelaran di luar negeri.


DAFTAR PUSTAKA
http://nanikrifa.blogspot.co.id/2014/12/pengrawit-1.html (diakses pada hari Sabtu, 26 Maret 2016 Pukul 18;40)
http://kelompokmejikuhibiniu.blogspot.co.id/2007/09/arti-sinden_23.html (diakses pada hari Sabtu, 26 Maret 2016 Pukul 19;05)





Minggu, 20 Maret 2016

TOLERANSI TERHADAP TARI SERIMPI KESENIAN YOGYAKARTA

TARI SERIMPI



     Tari Serimpi adalah salah satu tarian klasik dari Yogyakarta yang ditarikan beberapa penari wanita cantik dan anggun. Tarian ini menggambarkan kesopanan dan kelemah lembutan, yang di tunjukan dari gerakan yang pelan dan lembut oleh para penarinya. Tari Serimpi ini awalnya juga merupakan tarian yang bersifat sakral dan hanya ditampilkan di lingkungan Keraton Yogyakarta.

     Menurut sejarahnya, Tari Serimpi ini sudah ada sejak masa kejayaan kerajaan Mataram pada pemerintahan Sultan Agung. Saat itu tarian ini merupakan salah satu tarian yang sakral, yang hanya dipentaskan di dalam lingkungan Keraton untuk acara kenegaraan dan peringatan kenaikan tahta Sultan. Karena sifatnya yang sakral, penari yang di gunakan juga merupakan penari yang sudah terpilih oleh keluarga Kerajaan. Namun setelah Kerajaan Mataram pecah menjadi dua yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan surakarta, tarian ini mulai mengalami perubahan dalam segi gerakan walaupun inti dari tarian ini masih sama.

     Tari Serimpi ini dari masa ke masa telah mengalami berbagai pengembangan, diantaranya dari segi durasi dan pakaian yang dikenakan. Selain itu tarian ini juga tergolong menjadi beberapa jenis. Di Yogyakarta sendiri Tari Serimpi terbagi menjadi beberapa jenis diantaranya, Serimpi Babul Layar, Serimpi Dhempel, dan Serimpi Genjung. Di Kesunanan surakarta terbagi menjadi Serimpi Anglir Mendung dan Serimpi Bondan. Selain itu bentuk Tari Serimpi lainnya adalah Tari Serimpi renggawati. Pada Tari Serimpi renggawati dipentaskan oleh lima orang, tidak seperti Tari Serimpi pada umumnya yang dipentaskan oleh empat orang.

     Bentuk kreasi baru dari Tari Serimpi Yogyakarta ini diantaranya adalah Tari Pondelori danAmong beksa. Pada kreasi Tari Serimpi Pondelori ini bertemakan sebuah pertengkaran dua orang dewi yang memperebutkan cinta seorang pangeran. Tarian ini biasanya dipentaskan oleh empat orang yang di bagi dua dan memerankan dua dewi tersebut. Sedangkan Among baksa dipentaskan oleh delapan orang penari dengan mengambil tema menak. Selain itu ada juga Tari Serimpi Cina dan Tari Serimpi Pramugrari. Pada Tari Serimpi cina biasanya menggunakan baju khas orang cina. Dan pada Tari Serimpi pramugrari menggunakan pistol yang di gunakan untuk properti menarinya.

    Selain sebagai hiburan, tari ini sering juga ditarikan untuk menyambut tamu dalam upacara peringatan haribessar dan perkawinan. adapun ciri-ciri tari ini sebagai berikut:
        1. Jumlah penari seorang puteri atau lebih 
        2. Memakai jarit wiron.
        3. Tanpa baju melaikan memakai kemen atau bangkin.
        4. Tanpa jamang melainkan memakai snggul atau galung.
        5. Dalam menari boleh dengan sindenan (menyanyi). 

       Dalam pertunjukannya, penari menari dengan lemah gemulai dengan gerakan yang sangat pelan  mengikuti iringan Gamelan. Selain itu setiap gerakan dalam tarian ini tentunya mengandung arti khusus. Gerakan dalam Tari Serimpi ini didominasi oleh gerakan tangan, kaki, dan kepala. Dalam pertunjukannya penari menari dengan gerakan yang lembut dengan memainkan selendang yang di ikat di pinggangnya. 

      Dalam pertunjukan Tari Serimpi ini diiringi dengan gamelan khas dari Yogyakarta. Pada saat penari keluar dan masuk, penari diiringi gending sabrangan. Setelah penari menari diiringi dengan gendhing ageng atau gendhing tengahan yang kemudian di lanjutkan gendhing ladrang. Pada saat adegan perang diiringi dengan ayak – ayakan dan srebengan.

     Walaupun dulunya merupakan tarian sakral yang hanya ditampilkan di dalam Keraton Yogyakarta saja, namun Tari Serimpi ini mulai dikenalkan ke masyarakat luas. Dalam perkembangannya, tarian ini sering ditampilkan di berbagai acara seperti penyambutan tamu besar dan acara budaya di Yogyakarta. Sampai sekarang pun Tari Serimpi ini juga tetap dianggap salah satu kesenian pusaka Kesultanan Yogyakarta.

     Cukup sekian pengenalan tentang “Tari Serimpi Tarian Tradisional dari Yogyakarta”. Semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan anda tentang tarian tradisional di indonesia.


DAFTAR PUSTAKA
http://www.negerikuindonesia.com/2015/06/tari-serimpi-tarian-tradisional-dari.html
Cendi Yuliana. 2008. Kesenian Daerah dan Lagu-lagu Daerah. Surakarta: PT Widya Duta Grafika.